Tim sedang melakukan pemantauan gajah dengan mengecek jalur dan boli gajah yang masih segar |
Jumat, 24 Agustus 2018 pukul
14.00 WIB, tim bergerak dari kantor Bidang
Pengelolaan Taman Nasional Wilayah II Semaka, menuju Rhino Camp Taman Nasional
Bukit Barisan Selatan. Di lokasi ini, tim Balai Besar TNBBS yang terdiri saya,
Mad Nurzen, dan Sarkup mencari informasi keberadaan 12 ekor Gajah sumatera kepada warga
yang pulang dari Talang Bambang maupun Talang Banyu Urip. Anggota mitra
taman nasional, Fery dari Repong Indonesia, Ismail dan Feri dari Wildlife Nature Conservation-Indonesia
Programme juga menjadi bagian tim ini.
Selang
tak berapa lama,
kami berjumpa Mbah Jumari pulang dari Talang Bamban. Pria paruh baya
ini mengatakan gajah berada di Talang Bamban,
posisinya setelah Simpang Keramat. Informasi ini kami catat dan tetap mencari
informasi dari sumber lainnya.
Selama
dua setengah jam, kami tetap berjaga di Rhino Camp untuk mencegah warga yang
hendak masuk ke Talang Bamban dan Talang Banyu Urip, juga mengumpulkan
informasi dari warga yang pulang dari kedua talang tersebut. Kedua talang, lokasinya berada di Hutan
Lindung Register 31 Kotaagung Utara. Kendati hutan lindung, fakta di lapangan
telah menjadi kebun kopi dan kakao. Lokasinya dapat diakses menggunakan sepeda
motor, juga berbatasan dengan TNBBS.
Pukul
16.30 WIB tim bergerak menuju Talang Bamban. Namun, 15 menit perjalanan sebelum
sampai lokasi pemukiman di talang tersebut, setelah Simpang Keramat, kami
menjumpai jalur baru dan boli gajah liar yang masih segar di setapak jalan menuju pemukiman Talang
Bamban. Temuan ini sesuai informasi Mbah Jumari.
Kami
memutuskan berhenti untuk mengecek menggunakan telemetri. Alat ini untuk
mendeteksi keberadaan gajah liar yang
telah dipasang GPS collar sejak
beberapa bulan lalu. Kira-kira
jangkauan deteksinya
sampai satu kilometer.
Tak sampai satu menit, kami belum sempat menggunakan telemetri, gajah bersuara
memberi peringatan. Kami pun berlari di setapak sejauh 50 meter, dan berhenti sejenak memperhatikan
keadaan. Di rasa aman, tidak
ada pergerakan gajah, kami pun
perlahan kembali mengambil
motor yang kami tinggalkan. Motor kami tuntun menanjaki bukit sejauh 30 meter
agar tak bersuara dan bisa mendengar suara deteksi telemeteri. Alat penangkap
gelombang yang telah kami nyalakan ini pun mendeteksi, bunyi dup… dup… dup… intensitas rapat dan suara kuat.
Usui menuntun, kami pun bergegas memacu sepeda motor
menuju Simpang Keramat, 500 meter dari lokasi terakhir kami singgah. Di Simpang
Keramat, signal masih terdeteksi. Tim
sepakat mundur menuju punggung bukit untuk lebih mudah melihat ke beberapa
sisi. Harapannya agar
lebih mudah melihat pergerakan gajah yang berada di balik bukit lainnya di
depan bukit kami berada.
Menjelang
maghrib, kami memutuskan menuju persimpangan jalan menuju Talang Banyu Urip.
Kami mendengar deru motor dari arah Talang Banyu Urip. Kami pun melantangkan sirine megaphone memberi peringatan. Selang lima menit, dua motor sampai
ke lokasi kami berada, dua orang pengendara motor itu pun kami minta bergegas
keluar dari kawasan hutan lindung, demi keselamatan. Sepuluh menit
kemudian, kami kembali ke kantor bidang.
Kendati
pemukiman di Talang Bamban dan Banyu Urip berada di hutan lindung, namun kami
dari pihak taman nasional berusaha memberi peringatan kepada warga agar tidak menuju
kedua talang tersebut, untuk keselamatan jiwa. Warga-warga itu bukanlah eksodus. Memiliki rumah di
desa-desa di luar hutan lindung di Kecamatan Semaka dan sekitarnya. Kami
mengingatkan di dua talang itu ada gajah, yang sebulan lalu telah digiring ke
taman nasional tapi kembali lagi ke rumahnya di hutan lindung. Kami selalu
berharap tidak jatuh korban, baik manusia maupun gajah liar saat keduanya
berhadapan, karena keduanya makhluk ciptaan Tuhan Sangpencipta.
Sebagai bahan renungan siapa saja,
jika memang masih berdalih menggarap hutan menjadi kebun untuk kebutuhan
ekonomi, tetap berfikirlah mengutamakan keselamatan jiwa. Jangan sombong lebih
hebat karena kita manusia menyebut lebih mulia dan berakal. Gajah ciptaan
Tuhan, saya pribadi tidak dapat menjangkaunya mengapa gajah diciptakan jika
menurut saudara mengganggu dan merusak. Mungkin saudara lebih paham.
Gajah
penghuni hutan lindung yang merusak gubuk dan memakan tanaman budidaya di pemukiman
ilegal pun tidak pas jika
dikatakan mengganggu. Karena faktanya, manusialah yang telah merenggut rumah
gajah. Kita yang berakal tentu memahami bahwa satwa butuh pakan dan berbiak di
rumah sendiri. Namun,
bisa jadi tidak mau paham, karena alam ciptaan Tuhan saja, manusia merusaknya.
Hmmm…
“Telah nampak kerusakan di darat
dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada
mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali ke jalan
yang benar.” Q.S Ar-Ruum ayat 41
Renungan lainnya, manusia pun
merantau bekerja dilakukan untuk nafkah termasuk makan. Entah itu pekerjaan
baik, tercela, bahkan kejahatan sekalipun, makanan minuman haram pun
dikonsumsi. Padahal manusia memiliki akal. Pemahaman saya yang dangkal lantas
bertanya-tanya, disebut apakah manusia yang tidak menggunakan akalnya dengan
bijak?
0 komentar:
Posting Komentar